Indahnya Tenun Gedog dari Tuban
JavaMagazine (Tuban) - Tenun rasanya banyak jenisnya dan bisa ditemukan di banyak tempat di Indonesia. Salah satu yang khas berasal dari Tuban, Jawa Timur.
Namanya aneh, dicomot begitu saja dari suara orang bertenun. Dog-dog-dog...! Jadilah tenun gedog.
Kain gedog memang bentuk kerajinan tenun tradisional khas Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Hasil kerajinan yang sering dipilih wisatawan sebagai cinderamata itu dulunya kain yang biasa dikenakan kaum wanita di pedesaan untuk menggendong bocah atau bakul dari bambu.
Tapi kini tak kurang Pemda Tuban menjadikan kain gedog sebagai bahan pakaian seragam yang dikenakan pada hari-hari tertentu.
Menenun untuk yang tua
Uniknya, kerajinan ini hanya dikerjakan oleh warga Desa Margorejo dan Karangrejo, Kecamatan Kerek, yang letaknya sekitar 27 km arah barat Tuban.
Di sana suasana gedog amat terasa mendominasi berbagai aktivitas warga mulai dari menenun, membatik, menjahit, dan menjemur. Para perajin umumnya memiliki tugas masing-masing.
Ada yang khusus menenun, membatik, atau melorot (membuang malam atau lilin pada kain setelah diwarnai).
Tetapi dari bermacam kegiatan itu, kegiatan menenun jarang bisa ditemui. Lo?
Menurut Rukayah (40), ketua Kelompok Perajin Gedog Kesatrian di Desa Margorejo, hanya kaum ibu yang bersedia menenun.
Itu pun rata-rata ibu yang sudah berusia lanjut. Jumlahnya juga tinggal segelintir saja.
Generasi muda di desa itu banyak yang memilih pekerjaan membatik daripada menenun. Alasannya, proses persiapan dan pengerjaan tenun gedog selain rumit juga butuh waktu lama.
Untuk persiapan saja dibutuhkan waktu empat hari, sedangkan pengerjaannya biasanya bisa sampai satu bulan penuh.
Selain itu, kebiasaan warga yang lebih mengutamakan mengerjakan ladang atau sawahnya, membuat kerajian tenun gedog hanya sebagai pekerjaan sambilan.
Akibatnya, "Bila tiba musim tanam atau panen, kerajinan gedog ditinggalkan. Tidak peduli meski sedang ada pesanan," ujar Rukayah, peraih Upakarti bidang Pelestari Kerajinan Tradisional tahun 1992.
Jadilah Rukayah dan kelompoknya terpaksa menolak pesanan dalam jumlah besar dari pembeli luar negeri, karena pembeli minta pesanan dikirim tepat waktu.
Tenun gedog memang rumit. Salah satu penyebabnya, peralatan yang digunakan masih sederhana. Prosesnya dimulai dengan pemintalan bahan baku kapas menjadi benang.
Kapasnya pun ada dua macam. Yang putih (disebut lawe) dan yang coklat (disebut lawa).
Sebagian besar lawe dipasok dari sebuah pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah, sedangkan lawa dari daerah setempat. Namun proses pemintalan ini dikerjakan di desa lain.
Benang yang sudah tersedia kemudian direbus agar kuat dan tidak mudah putus. Selanjutnya benang di-sekuli atau dikanji dengan beras untuk meratakan bulu-bulu benang.
Bila masih ada sisa bulu, benang disikat pakai sabut kelapa. Setelah itu baru dijemur sampai kering.
Begitu sudah kering benar, benang yang saling menempel akan dipisah-pisahkan dan digulung dengan ala yang disebut ingan.
Dari benang yang sudah digulung itu lalu ditentukan jumlah benang untuk lusi dan benang untuk sisir. Ini tergantung pada ukuran kain tenun yang akan dibuat.
Makin panjang dan makin lebar kainnya, makin banyak benang yang dibutuhkan. Alat untuk keperluan itu disebut manen.
Untuk menentukan ukuran kain tenun, para perajin tidak menggunakan satuan ukuran standar meter, tapi dengan satuan ukuran tradisional, yakni pecak dan tumpal.
"Jadi, terkadang saya harus menerjemahkan ke perajin, ukurannya sekian pecak lebih sekian tumpal," ujar Rukayah sambil menambahkan bahwa satu pecak hampir sama dengan satu kaki (0,3 m).
Proses berikutnya memasang benang di sisir, dilanjutkan dengan memasang benang lusi ke sisir yang dikenal sebagai proses ngurubna.
Tahap berikut adalah ngelas atau merapatkan benang lusi ke sisir. Begitulah, semua proses itu dilakukan berulang kali sampai mencapai ukuran kain yang ditentukan.
Dari sinilah proses menenun gedog dengan peralatan yang disebut gebeg sudah dimulai.
Harus dilorot
Proses membatik tenun gedog tak banyak beda dengan proses membatik pada umumnya. Dimulai dari proses ngenkreng atau menggambar pola motif gedog di kain.
Dilanjutkan dengan nerusi alias menebali pola motif menggunakan malam. Tahap berikutnya nyeceki dengan memberi hiasan titik-titik, dan nyawuti yang berupa hiasan garis-garis lurus atau lengkung. Nyawuti sering pula disebut isen-isen.
Isen-isen itu bagian tak terpisahkan dan menjadi ciri khas motif batik gedog. Keduanya juga bisa menjadi patokan halus atau tidaknya jenis batik ini.
Semakin kecil titiknya atau semakin tipis garisnya berarti semakin halus pembatikannya.
Isen-isen diikuti dengan nembok, yakni menutup beberapa bagian dari pola motif dengan malam (lilin), lalu mencelupkan kain itu ke bahan pewarna pertama untuk memperoleh warna dasar.
Setelah dicelup beberapa saat lamanya, kain dijemur sampai kering.
Kalau sudah kering, kain akan dilorot atau dilungsur dengan cara direbus untuk menghilangkan malam yang menutupi motif.
Begitu malam pertama lenyap, dilanjutkan dengan nembok beberapa bagian motif yang lain, disambung lagi dengan melorot.
Proses nembok dan lorot dilakukan sesuai dengan jumlah warna yang diinginkan. Semakin banyak warnanya, makin berulang-ulang pula proses itu dilakukan.
Para perajin gedog tak hanya menggunakan pewarna sintetis, tapi juga yang alami. Repotnya, banyak pewarna alami yang belum mereka kenal.
Selama ini mereka hanya mengenal wit tarum atau wit torn alias pohon nila untuk mendapatkan warna biru tua.
Sulitnya, tanaman ini tidak mudah didapat, karena jarang ditanam oleh penduduk. Padahal menanamnya mudah dan tidak butuh perawatan khusus.
Rukayah pun telah mencoba berbagai bahan pewarna alami lain. Di antaranya, daun dan kulit jambu mede, kulit pohon jambu biji, akar mengkudu, kayu secang, dll. yang bisa menghasilkan warna coklat dan krem.
"Tapi, sejauh ini hasilnya belum memuaskan," ujarnya berterus terang.
Ketersediaan bahan pewarna alami itu dianggap penting karena banyak konsumen, khususnya dari mancanegara, lebih berminat pada produk yang bernuansa back to nature.
Kainnya susut
Selama menggeluti kerajinan gedog, Rukayah pernah mendapat pengalaman tak terlupakan yang terjadi beberapa tahun silam.
Melalui pengepul (distributor) di Bali, ia mendapat pesanan beberapa puluh lembar kain tenun gedog dari konsumen di Prancis.
Kain pesanan itu menggunakan bahan pewarna alami berukuran 90 x 200 cm per lembar.
Setelah pesanan jadi, kain dikirim ke Bali. Tapi apa lacur, sesampai di sana pesanan itu kontan dibatalkan. Alasannya, ukuran kain tidak sesuai permintaan, cuma 85 x 195 cm.
Setelah diusut-usut, perubahan ukuran kain itu ternyata akibat proses penyusutan selama penenunan. "Itu wajar. Namanya juga pekerjaan tangan, tentu hasilnya berbeda dengan pekerjaan mesin," ujar Rukayah.
Untungnya, meski pesanan dibatalkan, ia mendapat sedikit ganti rugi dan biaya ongkos. Apalagi, kain yang ditolak itu laris manis di pasar lokal.
Sejak itulah Rukayah selalu melebihkan beberapa sentimeter dari setiap ukuran kain pesanan.
Begitu pun Rukayah tidak tertarik menggunakan alat tenun bermesin. Selain dapat menghapus kekhasan kerajinan gedog, hasilnya tidak memuaskan.
Terbukti, beberapa rekannya yang beralih ke alat tenun bukan mesin (ATBM, alias dengan pancal), kini kembali ke alat tenun tradisional. Masalahnya, dengan ATBM benang tenun mudah putus.
Bentuk kerajinan gedog sebenarnya beraneka rupa. Sebut saja mulai dari kain tenun gedog, kain tenun motif non-gedog, kain batik nongedog, sampai kain seser.
Kain tenun gedog itu kain hasil tenun berhiaskan motif gedog. Sedangkan kain batik gedog terbuat dari bahan kain non-tenun yang berhiaskan motif gedog.
Selama ini ada sekitar 22 motif asli gedog, di antaranya motif panji konang, panji serong, ganggeng, kembang randu, kembang waluh, cuken, melati selangsang, satriyah, kijing miring, likasan kothong, guntingan, dll.
Umumnya, hiasan motif berupa penghalusan dari bentuk tanaman, satwa, dan bentuk-bentuk abstrak yang penuh dengan hiasan titik, garis lurus, dan garis lengkung.
Ada juga hiasan berupa guratan-guratan yang pecah seperti permukaan marmer. Artistik sekali.
Sedangkan kain tenun motif non-gedog dihasilkan dari permainan warna barang tenunannya. Sekilas kain jenis ini tidak banyak berbeda dengan kain tenun dari daerah lain.
Motifnya antara lain usik, dom sumelop, kembang batu, batu rante, intip iyan, semar mendem, sleret blungko, dsb.
Untuk tangkap ikan
Sedangkan kain seser disebut demikian karena jenis kain ini dulu dipakai untuk menyeser, yakni menangkap ikan dan udang di sungai.
Tidak aneh kalau jarak antarbenang tenunan kain seser itu longgar. la juga tanpa motif atau warna.
Selain jenis kain-kain itu, ada juga perajin yang memproduksi kain dengan motif baru, paduan antara motif asli dan motif kontemporer.
Jadi, jangan heran kalau ada motif gedog berpadu dengan nama instansi, logo perusahaan, nama toko, lembaga, bahkan gambar tokoh kartun, slogan, dan lainnya.
"Bagaimanapun perpaduan itu tidak mengorbankan idealisme dalam melestarikan motif yang ada," Rukayah memberi alasan.
Harga berbagai bentuk kain kerajinan gedog dipatok tergantung pada jenis, ukuran, dan bahan pewarnanya.
Bentuknya pun kemudian dikreasikan menjadi kaos, taplak, seprai, kipas, hiasan dinding, kap lampu.
Dengan pemasaran hingga ke sejumlah kota besar, misalnya Surabaya, Semarang, dan Jakarta, juga berbagai kota di Bali, rasanya tenun gedog bisa mudah kita temukan.
Jadi, kalau Anda menjumpai tekstil khas, bisa jadi itu kerajian gedog dari Tuban.
Tidak ada komentar